Kita semua pernah mengalami momen-momen di mana hidup terasa seperti lelucon yang tidak lucu. Misalnya, ketika Anda antre 30 menit di gerai kopi favorit, hanya untuk ditanya, “Kak, maaf kopinya habis”. Atau ketika hujan deras tiba-tiba mengguyur tepat setelah Anda mencuci mobil. Atau, yang lebih ekstrem, ketika Anda bekerja keras untuk mencapai sesuatu, lalu tiba-tiba semuanya hancur karena alasan yang sama sekali tidak masuk akal. “Lah, buat apa semua ini?” Anda mungkin bergumam. Nah, selamat datang di dunia absurdisme—filsafat yang mengajak kita untuk menertawakan kekacauan itu, meski sambil menggaruk-garuk kepala.
Tapi tunggu, apa sih absurdisme itu? Apakah sekadar meme filosofis? Atau ada makna lebih dalam di baliknya? Artikel ini akan mengajak Anda jalan-jalan santai melalui labirin pemikiran absurdisme, mulai dari akarnya di filsafat eksistensial, tokoh-tokoh kunci seperti Albert Camus, hingga bagaimana konsep ini relevan di era TikTok dan AI yang kadang bikin kita geleng-geleng. Tenang, kita tidak akan pakai bahasa berat—bayangkan ini seperti ngobrol di warung kopi, tapi topiknya filsafat.
Apa Itu Absurdisme? Filosofi untuk Mereka yang Lelah Tapi Masih Penasaran
Absurdisme, dalam bahasa sederhana, adalah pengakuan bahwa manusia terus-menerus mencari makna dalam kehidupan, padahal alam semesta sama sekali tidak peduli. Bayangkan Anda berteriak, “Apa tujuan hidup ini?!” ke langit, lalu yang membalas hanya angin berdebu dan seekor burung yang kebetulan buang air di kepala Anda. That’s the absurd.
Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Albert Camus, filsuf asal Aljazair-Perancis, dalam esainya The Myth of Sisyphus (1942). Camus menggambarkan manusia seperti Sisyphus—tokoh mitologi Yunani yang dihukum menggelindingkan batu ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya jatuh lagi, berulang-ulang selamanya. Menurut Camus, hidup kita sama seperti itu: repetitif, melelahkan, dan (sepertinya) tidak bermakna. Tapi di situlah letak kebebasan kita: kita bisa memilih untuk bahagia meski tahu semuanya absurd.
Absurdisme vs. Eksistensialisme vs. Nihilisme: Apa Bedanya?
Sebelum lanjut, mari klarifikasi perbedaan tiga konsep yang sering dicampuradukkan ini:
- Nihilisme: “Hidup tidak punya makna, jadi buat apa melakukan apa pun? Let’s give up.”
- Eksistensialisme: “Hidup tidak punya makna bawaan, tapi kita bisa menciptakan makna sendiri.”
- Absurdisme: “Hidup memang tidak punya makna, dan alam semesta tidak akan pernah menjawab pertanyaan kita. Tapi justru di situlah letak keindahannya—kita bisa memberontak dengan menikmati ketidakpastian itu.”
Kalau nihilisme itu seperti teman yang terus-terusan bilang “Buat apa?” setiap Anda ajak jalan, absurdisme adalah teman yang ngajak naik roller coaster sambil tertawa, “Yaudah, daripada stres, mending kita nikmati aja chaos-nya!”
Albert Camus: Bapak Absurdisme yang Anti-Depresi
Albert Camus bukan cuma filsuf, tapi juga penulis novel, esai, dan dramawan. Karyanya, seperti The Stranger (1942) dan The Plague (1947), sering menggambarkan karakter yang menghadapi absurditas hidup. Tokoh utama The Stranger, Meursault, bahkan tidak menangis di pemakaman ibunya—sebuah sikap yang dianggap “tidak manusiawi” oleh masyarakat. Tapi justru di situlah Camus menunjukkan bagaimana manusia sering terjebak dalam ekspektasi sosial yang… absurd.
Camus sendiri menolak disebut eksistensialis. Baginya, eksistensialisme terlalu fokus pada “kebebasan memilih”, sementara absurdisme lebih tentang berdamai dengan ketiadaan jawaban. Dalam The Myth of Sisyphus, ia menulis:
“The struggle itself toward the heights is enough to fill a man’s heart. One must imagine Sisyphus happy.”
Artinya, meski Sisyphus tahu batu itu akan jatuh lagi, kebahagiaannya terletak pada pemberontakan untuk terus mendorong. Mirip seperti kita yang tetap membuka TikTok meski tahu algoritmanya akan menghabiskan waktu kita.
Absurdisme dalam Sastra dan Pop Culture: Dari Kafka sampai Rick and Morty
Absurdisme bukan cuma teori filsafat—ia juga hidup dalam karya sastra, film, bahkan meme.
Franz Kafka: Raja Absurd yang Bikin Pembaca Geleng-Geleng
Novel Kafka, The Metamorphosis (1915), adalah contoh klasik. Bayangkan bangun pagi dan mendapati diri Anda berubah jadi kecoa raksasa. Keluarga Anda jijik, tapi Anda masih harus cari cara bayar utang. Apa respon kita? Kafka tidak memberi solusi—ia hanya menunjukkan betapa tidak masuk akalnya hidup, dan kita tertawa (atau nangis) karena itu.
Samuel Beckett: Nunggu Godot yang Tidak Pernah Datang
Dalam drama Waiting for Godot (1953), dua karakter utama, Vladimir dan Estragon, menunggu seseorang bernama Godot yang tak kunjung muncul. Dialog mereka berputar-putar, penuh lelucon kering, dan tidak ada plot yang jelas. Tapi justru di situlah pesannya: hidup sering kali adalah penantian tanpa tujuan, tapi kita tetap ngobrol dan tertawa untuk menghabiskan waktu.
Rick and Morty: Sains, Multiverse, dan Krisis Eksistensial
Serial animasi ini adalah contoh modern absurdisme. Rick Sanchez, ilmuwan jenius tapi sinis, terus-menerus menunjukkan bahwa alam semesta tidak punya makna. Di episode The Ricks Must Be Crazy, ia bahkan menciptakan mikro-alam semesta di dalam baterai mobilnya—lalu mikro-alam semesta itu menciptakan mikro-alam semesta lagi, dan seterusnya. Pesannya? Segala upaya manusia untuk mencari “tujuan besar” mungkin sama absurdnya dengan semut yang mencoba memahami WiFi.
Hidup di Era Absurd: TikTok, Deepfake, dan Krisis Iklim
Kalau Camus hidup di zaman sekarang, mungkin ia akan ngetweet: “Hidup itu absurd, tapi lihatlah video kucing ini!”. Kenapa? Karena era digital memperparah (atau justru memperjelas) absurditas itu.
- TikTok dan Scroll tanpa Henti: Kita menghabiskan jam demi jam menonton video 15 detik, padahal tidak ada yang benar-benar penting. Tapi kita terus melakukannya—persis seperti Sisyphus mendorong batu.
- Deepfake dan Realitas Palsu: Kita tidak lagi bisa membedakan mana video asli dan mana yang rekayasa AI. Dunia semakin tidak masuk akal, tapi kita hanya bisa mengangkat bahu dan bilang, “Whatever, lol.”
- Krisis Iklim vs. Influencer Liburan: Saat bumi semakin panas, kita malah melihat influencer promosi liburan ke Maldives dengan jet pribadi. Absurd? Tentu. Tapi kita tetap scroll terus.
Di tengah semua ini, absurdisme mengajak kita untuk tidak larut dalam keputusasaan, tapi juga tidak berpura-pura semuanya baik-baik saja. Sebaliknya, kita bisa tertawa (atau nangis) sambil bilang, “Ya begitulah hidup.”
Cara Praktis Menjadi Absurdist: Dari Bangun Tidur sampai Tidur Lagi
Bagaimana menerapkan absurdisme dalam keseharian? Berikut tips ala-ala:
-
Stop Mencari “Makna Hidup” seperti Mencari WiFi di Hutan
Daripada frustasi karena tidak menemukan “tujuan besar”, coba nikmati hal-hal kecil: secangkir kopi pagi, obrolan receh dengan teman, atau bahkan rasa frustasi itu sendiri. -
Tertawakan Kegagalan
Gagal wawancara kerja? Kena ghosting? Kue yang Anda panggang jadi batu? Anggap saja sebagai bahan cerita lucu. Seperti kata Camus, “Di tengah musim dingin, akhirnya aku belajar bahwa ada musim panas yang tak terkalahkan dalam diriku.” -
Buat Ritual Anda Sendiri
Sisyphus punya batu, Anda punya rutinitas. Entah itu olahraga, masak, atau sekadar merawat tanaman—ritual memberi struktur pada kekacauan. -
Jangan Terlalu Serius dengan Diri Sendiri
Anda bukan protagonis dalam film Marvel. Kesalahan Anda tidak akan mengakhiri dunia. Santai saja.
Penutup: Absurdisme Bukan untuk Menyerah, Tapi untuk Hidup Lebih Ringan
Absurdisme bukan ajakan untuk pasrah atau menjadi apatis. Justru sebaliknya: ini adalah filosofi pemberontakan. Dengan mengakui bahwa hidup ini tidak masuk akal, kita bebas untuk menciptakan makna versi sendiri—entah itu lewat seni, hubungan dengan orang lain, atau sekadar menikmati matahari terbenam sambil mendengarkan lagu favorit.
Seperti kata Camus, “You will never be happy if you continue to search for what happiness consists of. You will never live if you are looking for the meaning of life.”
Jadi, lain kali Anda terjebak hujan tanpa payung, atau laptop tiba-tiba nge-hang saat deadline, coba tersenyum dan bilang: “Ah, absurd!” Lalu lanjutkan hari.